
Ada yang berbeda saat aku membuka mata di pagi hari itu. Langit-langit kamar yang biasanya berwarna putih, tergantikan dengan genteng merah kecoklatan. Lucunya lagi, tiba-tiba aku mendapati seorang saudara perempuan yang sedang tidur sekasur tepat di sebelahku. Dia adalah teman sekolahku, Viona. Sungguh ini seperti sebuah mimpi karena aku berada di rumah asing dengan orang tua yang seumur hidup baru saja kutemui kemarin.
Aku Josephine Devina dari kelas XI B1. Tanggal 22 sampai 25 Oktober 2024, aku mengikuti kegiatan sekolah yaitu live in di daerah Samigaluh, Desa Trayu kelurahan Ngargosari. Kegiatan ini bertujuan untuk memberi pengalaman langsung tentang kehidupan masyarakat yang tinggal di desa. Aku senang karena ini pertama kalinya aku tinggal di desa dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Setibanya di Samigaluh, udara masih sejuk walaupun matahari sudah tinggi. Aku dan rombongan berjalan ke Gereja Ignatius Loyola untuk mengikuti rangkaian acara penyambutan dari Pak Lurah, ketua panitia live in, dan perwakilan guru SMA Sedes, Pak Bambang.
Saat aku dan Viona sampai di rumah tempat kami menginap, kami disambut oleh ibu karena bapak sedang pergi ke kebun. Panggilan mereka adalah Ibu Atin dan Bapak Budi. Mereka memiliki seorang putra bernama Aditya Budi Wirawan yang tinggal di Jakarta sebagai salah satu petugas Paspampres. Mereka juga sudah memiliki seorang cucu perempuan bernama Mikaela Azalea Yahim. Ibu Atin bekerja di rumah menganyam bambu untuk bungkus enting jahe, dan membuat anyaman pesanan dari batang pisang yang dikeringkan. Kami diajari bagaimana menganyam bambu.
Pertama kami memerlukan alat bantu kipas untuk membuat bagian bawah lalu dianyam silang sampai ke atas. Saat menganyam kami sempat bertanya untuk harga satuan anyaman yang dibuat. Aku dan Viona kaget, ternyata anyaman yang sangat susah dibuat ini harganya hanya 800 rupiah. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul empat sore, aku dan Viona bergegas mandi. Saat membantu ibu menyiapkan makanan, bapak pulang dari kebun dan menyapa kami. Pukul enam petang bapak dan ibu pergi ke mushola untuk menunaikan ibadah, sedangkan aku dan Viona mencoba untuk menganyam lagi. Kami kembali mengobrol setelah mereka pulang dari mushola dan makan malam bersama. Ternyata hari ini bapak panen cengkeh dari kebun sebelum bekerja di konstruksi.

Suara kokok ayam membangunkan aku dan Viona pagi hari itu. Kami membantu ibu yang sedang menyiapkan sarapan. Selesai sarapan dan mandi, aku dan Viona diajak Mak Uti, kakak Bu Atin, pergi ke kebun cengkeh. Kami berjalan sangat jauh menaiki bukit. Di perjalanan kami melihat bukit yang sangat besar dan tinggi. Mak Uti memberitahu kami nama bukit itu Bukit Widosari. Di kebun kami memungut daun dan sisa cengkeh yang belum diambil bapak. Aku baru tahu kalau cengkeh itu berwarna merah dan daunnya juga dipanen untuk dibuat racikan obat. Kami selesai memungut cengkeh saat matahari hampir mencapai puncaknya, lalu pergi ke rumah Pak Suroto untuk melihat cara membuat jirat untuk anyaman bambu.
Di sana kami dijelaskan pula cara pembuatan wang kulit khas Desa Trayu dari kulit kerbau. Wayang kulit dibuat dengan aturan tertentu mulai dari bentuknya, tebal tipisnya kulit, hingga pewarnaannya yang harus manual. Dari rumah Pak Suroto kami diajak Mak Uti ke ujung desa melihat kambing, aku menahan geli, karena memang baru pertamakali aku melihat kambing dari dekat. Setelah itu kami pulang dan lanjut membantu ibu menganyam daun pisang. Hari menjelang malam saat kami membantu ibu memasak di dapur lalu makan bersama dengan bapak sambil berbincang-bincang. Bapak bercerita bahwa air yang digunakan di desa berasal dari mata air. Di kelurahan itu ada 7 mata air dan salah satunya adalah mata air Tuk Tulangan. Cerita berakhir karena ibu menyuruh kami untuk segera tidur, sudah larut malam.
Pagi kedua, kami membantu ibu membuat makanan tradisonal yaitu gethuk gothe. Gethuk ini terbuat dari gothe atau yang biasa disebut kimpul. Gothe dikukus bersama dengan parutan kelapa yang dicampur garam dan dihancurkan lalu ditambah gula. Jam menunjukan pukul setengah delapan, kami mengambil sapu ijuk dan sabit karena ada kegiatan kerja bakti di masjid. Aku, Viona, dan ibu pergi ke tempat kerja bakti sedangkan bapak pergi bekerja. Selesai kerja bakti, aku dan Viona memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa. Kami mengunjungi Rajendra Farm, tempat wisata kambing dan domba. Lalu kami lanjut pergi sampai ke daerah bernama Ngaliyan, naik memutari bukit baru kemudian kembali ke rumah. Malam itu ada doa rosario di rumah Pak Lurah. Bu Atin minta tolong keponakannya untuk mengantar kami ke tempat Pak Lurah dengan motor karena letaknya jauh di atas bukit. Selesai doa rosario, kami diantar pulang oleh Pak Askabul karena bapak sedang mengikuti perkumpulan kelompok tani.
Tidak terasa empat hari berlalu. Kami berterimakasih atas kebaikan dan keramahan ibu dan bapak selama kami tinggal bersama mereka. Di luar rumah terdengar suara motor sudah menunggu untuk mengantar kami ke bis. Aku dan Viona berpamitan. Sesampainya di lapangan, aku dan Viona baru ingat bahwa kami belum berfoto dengan bapak dan ibu untuk terakhir kali. Untung jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat titik kumpul, he.. he…kami pun kembali ke rumah mereka. Kegiatan live in diakhiri dengan ucapan terimakasih dari pihak sekolah karena kami sudah diperkenankan untuk berkegiatan di sana. Sekitar pukul sembilan kami pulang ke Semarang.
Senang rasanya bisa mengikuti kegiatan ini. Pengalaman yang sungguh berharga dapat bertemu dengan orang-orang asing yang baik hati, melupakan semua perbedaan yang ada, mengingat nama-nama baru, merasakan kebiasaan baru, dan melihat dunia dari sisi berbeda yang mungkin merupakan pengalaman sekali seumur hidup karena kupikir tidak mungkin orang tuaku menyuruhku tinggal serumah dengan orang asing yang sama sekali tidak pernah mereka kenal dan temui.
Penulis: Josephine Devina /XI B1
Editor: Evaristus
Tinggalkan Balasan