
Pada semester ini, kami, siswa kelas XI SMA Sedes Sapientiae Semarang, diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan live in di Dusun Ngaliyan A, Desa Ngargosari, Samigaluh, Kulon Progo. Program ini dirancang untuk menumbuhkan karakter tanggung jawab dan kepekaan terhadap lingkungan. Kami diajak hidup bersama keluarga setempat, membangun kebersamaan, saling percaya, dan bekerja sama dengan mereka. Bagi saya, Vanessa Kayla, ini adalah pengalaman yang benar-benar berharga, apalagi ditemani sahabat saya, Bernadeth Josephine Elaine.
Petualangan kami dimulai pada tanggal 22 Oktober 2024, dengan perjalanan dari Semarang yang memakan waktu sekitar 3-4 jam. Setibanya di desa, saya dan Elaine diperkenalkan kepada keluarga baru kami. Orang tua angkat kami, Bu Anik dan Pak Hartono, hidup bersama dua anak mereka, Ucik dan Dhian, serta mbah Uti, sang nenek yang begitu ramah. Mereka adalah orang-orang yang hangat, dan kehadiran mereka segera membuat kami merasa seperti di rumah sendiri.
Di hari pertama, kami berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kami berkenalan dengan orang-orang di desa sambil mengamati kehidupan sehari-hari mereka. Pak Hartono memiliki kebiasaan memberi makan kambing setiap pagi dan sore. Bu Anik bekerja di koperasi desa, sementara mbah Uti menjaga rumah dan mengajarkan kami berbagai hal tentang cara hidup di desa. Melihat rutinitas mereka membuat saya sadar akan kesederhanaan hidup mereka yang kaya akan nilai-nilai kekeluargaan.

Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi untuk pergi ke pasar bersama penduduk setempat. Perjalanan ke pasar cukup jauh, dan kami harus berjalan kaki melewati hamparan sawah hijau dan perbukitan yang asri. Jaraknya yang jauh seolah tak terasa karena kebersamaan yang terjalin sepanjang perjalanan. Sore itu, kami ikut serta dalam kerja bakti desa, bersama-sama mencangkul tanah, meratakan jalan, dan mengangkut hasil kebun. Saat itulah, saya merasakan betapa kuatnya ikatan gotong royong di desa ini.
Malamnya, kami mengikuti doa rosario yang rutin dilakukan setiap Oktober. Kegiatan ini mempererat hubungan antarwarga dan menjadi momen refleksi bagi saya, bahwa kehidupan di desa tidak hanya tenang, tetapi juga penuh kebersamaan.
Di hari terakhir, saya dan Elaine diajak belajar membuat makanan tradisional khas desa, yaitu cemplon dan combro. Kami mencampur singkong dengan gula merah untuk membuat cemplon, sementara combro diisi dengan kelapa dan bumbu pedas. Prosesnya ternyata tidak mudah, namun kebersamaan dengan ibu-ibu desa yang sabar mengajari kami menjadikan pengalaman ini sangat berkesan. Pada malam hari, setelah doa rosario, kami menyantap hasil masakan kami bersama-sama.
Tanpa terasa, empat hari telah berlalu, dan tiba saatnya kami harus kembali ke Semarang. Dengan hati yang berat, kami berpamitan. Empat hari ini memberi saya banyak pelajaran hidup yang tak ternilai. Saya melihat betapa sederhana, namun bermaknanya kehidupan di desa. Rasanya seperti menemukan keluarga baru dan menjalani kehidupan yang lebih tenang dan tulus.
Pengalaman ini mengajarkan saya tentang arti gotong royong, kebersamaan, dan kesederhanaan hidup yang sering kali terlupakan di kota. Desa Ngargosari telah meninggalkan jejak yang tak akan pernah saya lupakan, dan saya kembali ke kota dengan membawa kenangan indah yang akan terus saya kenang. #
Penulis : Vanessa Kayla/ XI A2
Editor : Evaristus
Tinggalkan Balasan