
Ketika aku menuliskan tujuan Live In di desa Samigaluh di awal buku panduan, ada satu harapan yang kubisikkan dalam hati: ingin merasakan kedamaian. Di kota Semarang yang ramai, hampir tidak ada tempat untuk menyepi, apalagi di pagi hari yang bising. Selama Live In, kami, para siswa, dilarang menggunakan handphone selama empat hari penuh. Ini hal yang sangat jarang kulakukan dan mungkin tidak biasa untuk sebagian besar dari kami. Tapi justru itulah yang membuatku bersemangat: empat hari tanpa handphone di desa.
Begitu sampai di desa Samigaluh pada siang hari tanggal 22 Oktober 2024, rasa lelah dari perjalanan terasa menyergap. Biasanya, setibanya di rumah sepulang sekolah, aku justru lebih terjaga, energiku kembali hanya untuk membuka media sosial tanpa tujuan jelas. Namun, kali ini berbeda. Di kamar sederhana milik keluarga angkatku di desa, aku langsung merebahkan badan, dan tanpa sadar aku tertidur lelap karena benar-benar kelelahan. Tak lama kemudian, Ibu membangunkanku untuk ikut memanen mbayung, daun sayuran khas desa ini yang akan dimasak esok pagi.

Pagi berikutnya, aku terbangun dengan udara sejuk yang menyegarkan. Kebiasaan burukku biasanya, jika tidak sekolah, bangun tidur langsung memegang handphone, melewatkan kesempatan menikmati pagi. Tetapi di desa ini, aku justru ikut Ibu ke pasar. Rasanya sudah lama tidak merasakan pagi yang tenang dan sejuk, seolah waktu berjalan lebih lambat. Setelah dari pasar, aku dan Gitta, teman sekamarku, memetik mbayung sambil menonton kartun di TV, hal yang sudah lama tidak kulakukan. Rasanya menghibur, lebih dari video 15 detik di handphone. Kami tertawa menonton Upin-Ipin, Boboiboy, dan Adit Sopo Jarwo, yang mengisi waktu kami lebih lama daripada sekadar menggulir layar.
Sore harinya, Ibu harus mengantar adik kecil ke TPA, dan rumah terasa lebih sepi. Kami sempat bosan, tetapi akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan ke warung dekat rumah. Ternyata, rumah Tata dan Fide, teman-teman satu Live In kami, tidak jauh dari sana. Mereka sedang duduk di teras menikmati pemandangan. Mereka mengajak kami mampir, dan kami disuguhi camilan khas Jogja sambil bercengkerama di teras rumah mereka.
Keseruan dimulai saat seorang gadis kecil, Aluna, keponakan Tata dan Fide, bergabung dengan kami. Awalnya dia terlihat malu-malu, dan saat aku mencoba menebak namanya, aku justru memanggilnya “Fauna,” membuat semua teman-teman tertawa. Dari situlah, kami mulai bercanda dengannya. Aluna memiliki imajinasi yang luar biasa; dia menghibur kami dengan permainan lucunya, jauh lebih menyenangkan dari video-video di handphone. Dia bahkan berpura-pura menjadi berbagai hewan atau benda, yang membuat kami terus menebak-nebak.
Puncaknya, dia keluar membawa kemoceng, dan dengan penuh percaya diri, menaruhnya di atas kepala, berpura-pura menjadi kue ulang tahun dengan lilin. Kami semua ikut bertepuk tangan sambil tertawa. Saat dia pura-pura menjatuhkan “lilin” dan mengatakan “Panas, panas!” kami berpura-pura panik, berseru “Kebakaran, kebakaran!” Kami terus tertawa hingga kelelahan, tetapi terus terbawa oleh tingkah lucunya. Aluna dan kemocengnya menjadi sumber kebahagiaan sederhana yang tak ternilai, mengingatkanku bahwa tawa dan kegembiraan ternyata tidak harus datang dari layar kecil di genggaman.
Live In di Samigaluh ini membuka mataku untuk lebih menikmati dunia nyata. Momen-momen kecil ini menjadi kenangan berharga, core memory, yang kurasa akan tetap ada di pikiranku. Aku menyadari bahwa tanpa handphone, ada banyak hal yang bisa kita nikmati di sekitar dari alam hingga interaksi sederhana dengan teman-teman dan keluarga. Sepulangnya dari Live In, aku berusaha mengurangi waktu memegang handphone, ingin lebih fokus pada hidup yang nyata. Aku ingin benar-benar menikmati momen dan masa mudaku tanpa tergantung pada layar kecil, melainkan pada dunia yang ada di depanku. Live In ini mengajarkanku bahwa hidup penuh kehadiran itu sungguh lebih bermakna dan menyenangkan.
Penulis: Felice XIB1/15
Editor: Evaristus
Tinggalkan Balasan