Tak ada sesuatu yang instan, begitu juga dengan sejarah SMA Marsudirini Sedes Sapientiae Semarang. Sejarah yang panjang dan berliku telah dialami oleh SMA Marsudirini Sedes Sapientiae. Berikut ini adalah perjalanan SMA Marsudirini Sedes Sapientiae dari sejak awal hingga kini.
Periode sebelum berdirinya SMA Sedes Sapientiae (1911 – 1950)
(Gedung SMA Marsudirini Sedes Sapientiae dulu dan kini)
Gedung SMA Marsudirini Sedes Sapinetiae awalnya merupakan gedung yang dinamai biara Bangkong karena terletak di daerah Bangkong Semarang. Gedung ini dibangun atas rancangan arsitek Belanda bernama Tuan Plaggen yang pada tanggal 3 Juni 1910 dilakukan peletakan batu pertamanya. Meskipun selesainya pembangunan tersebut agak terlambat, para suster sudah mulai mengadakan pemindahan sekolah secara besar-besaran dari Bojong (Jl. Pemuda) ke Bangkong pada tanggal 21 Mei 1911. Gedung biara ini diberkati pada tanggal 27 Juni 1911 oleh Pastur Hoevenaars SJ.
Berkat perjuangan dan kegigihan para suster, sekolah-sekolah di Bangkong dapat berkembang dengan pesat. Pada bulan Januari 1940, tercatat beberapa jenis sekolah dan kursus yang ada di Bangkong, antara lain Frobel School (TK), Lagere School (SD), Javaanse School (SD Pribumi), MULO (SMP), kursus mengetik dan kursus steno.
Tidak lama kemudian, pada tanggal 8 Desember 1941, para suster dikejutkan pecahnya Perang Dunia Kedua atau disebut Perang Pasifik di Asia. Ruangan gudang dijadikan tempat perlindungan para suster dan ruangan di sekolah dijadikan kamar untuk pertolongan pertama. Keadaan bertambah buruk saat Jepang menduduki Indonesia termasuk di Semarang. Pada tanggal 19 Maret 1942 atas perintah Jepang sekolah Bangkong ditutup. Kemudian pada bulan Juni 1943, bangunan gedung Biara Bangkong Semarang yang pada awalnya digunakan oleh para Suster Fransiskan Heythuysen namun kemudian oleh bala tentara Jepang diubah menjadi Kamp Interniran bagi perempuan dan anak-anak terutama yang berkebangsaan Belanda dan Eropa. Pada awalnya kamp ini bernama Jongenkampen (Youth Camp) danVrouwenkampen (Women Camp), tetapi pada tahun 1944 berubah menjadi hanya untuk Jongenkampen yang juga ditinggali oleh para pria tua.
(Plakat untuk menghormati para penghuni Kamp Interniran Bangkong yang meninggal. Plakat ini terpasang di depan Kapel Biara Bangkong saat ini)
Tetapi dengan adanya peraturan kekaisaran Jepang tanggal 7 November 1943 yang menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan mulai saat itu, maka pada bulan September 1944, para wanita dan anak-anak dipindahkan ke kamp di lingkungan Lampersari. Pada tanggal 11 September 1944, 240 anak laki-laki dari Gedangan tiba di Bangkong dan pada tanggal 12 September 1944, sekelompok besar anak laki-laki yang lain datang dari Kamp Halmahera, Lampersari, dan Kamp Karang Panas. Keadaan di kamp Bangkong ini sangat buruk sehingga mengakibatkan sekitar 420 pekerja magang meninggal dalam waktu satu tahun. Pada bulan Juni dan Agustus 1945, 100 anak laki-laki dari Kamp Bangkong, bersama sekelompok anak laki-laki dari Kamp Ambarawa ditempatkan menjadi satu di kamp kerja Kaliceret.
Kamp Bangkong ini tetap ada hingga akhir perang. Baru setelah tanggal 24 Agustus 1945, penderitaan anak-anak di Kamp Bangkong berakhir setelah bala tentara Jepang menyerah dan berakhir pulalah Perang Dunia Kedua. Peristiwa di kamp tersebut diabadikan dalam sebuah patung yang dibuat oleh pemahat Belanda, Anton Beijsens pada tahun 1988 di Ereveld Kalibanteng, Semarang dan juga di Arnhem. Patung-patung tersebut menggambarkan seorang anak laki-laki kurus yang hanya berpakaian dengan cawat dan membawa cangkul di bahunya, dengan tangannya yang lain memegang kapak di pangkalan. Di atas tumpuan patung itu tertulis: “Zij waren nog zo jong”,yang berarti mereka sangat muda. Patung tersebut memvisualisasikan kegiatan anak-anak yang dipekerjakan untuk mencari kayu di kamp kerja Kaliceret yang berasal dari kamp Bangkong.
Pada saat kapitulasi (perjanjian) Jepang, ada sekitar 1.300 anak laki-laki dan pria lanjut usia di Bangkong. Beberapa dari mereka pergi, kemudian pada bulan Agustus 1945 kembali untuk bersatu dengan keluarga di kamp-kamp lain. Mereka dan keluarga yang mengalami sakit parah dan pada bulan September dibawa ke rumah sakit militer di Magelang. Pada akhir September 1945, 500 mantan interniran masih tinggal di kompleks biara Bangkong. Bersama dengan mantan interniran dari kamp-kamp Ambarawa, mereka dievakuasi pada bulan November – Desember 1945 ke Batavia. Setelah itu kamp Bangkong digunakan sebagai Gedung Susteran OSF.
Pada tanggal 18 Januari 1946, tujuh orang suster didatangkan kembali ke Bangkong dari Candi dengan menggunakan truk untuk mengurus, membersihkan dan memperbaiki seluruh gedung dan barang-barang yang rusak. Pada tanggal 23 Januari 1946, para suster sudah bisa menempati loteng untuk kamar tidur dan ruang tamu beralih fungsi menjadi poliklinik
Pada April 1950 bangunan dan sekolah di Bangkong diduduki oleh TNI sehingga terpaksa sekolah diliburkan. Berkat perjuangan Pastor Van Beek dan Moeder Overste, bangunan dan sekolah Bangkong bisa ditinggalkan oleh TNI setelah kira-kira 19 bulan mereka duduki.
Periode awal berdirinya SMA Marsudirini Sedes Sapientiae (1951 – 1970an)
Pada awalnya SMA Marsudirini Sedes Sapientiae merupakan bagian dari SMA Kolese Loyola yang dirintis oleh Romo Waayenburg S.J. bersama bapak Wiyono, pada bulan Mei 1949. Mulai tahun ajaran 1950-1951 diadakan pemisahan pengelolaan untuk siswa/siswi dengan ketentuan seperti berikut:
- SMA Loyola I bagian putra di Jalan Karang Anyar 37, Semarang
- SMA Loyola II bagian putri di Jalan Mataram 908, Semarang
Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Departemen P&K dimana masing-masing sekolah berdiri sendiri dan merupakan sekolah yang mendapat bantuan berupa subsidi dari Departemen P&K. Kepala sekolah SMA Loyola II saat itu dijabat oleh Sr. Leontine sekaligus menjadi kepala sekolah SMA Sedes Sapientiae yang pertama. Pada tahun 1950-an SMA Loyola II menempati gedung bekas kompleks susteran Bangkong dengan gaya kolonial dengan sentuhan gothic dan juga Perancis Selatan pada bangunan ruang kelasnya.
Mulai 1 Agustus 1965, kedua sekolah secara resmi berdiri sendiri dengan nama Loyola I dan Loyola II. Pada masa ini Sr. Johannete menjabat sebagai kepala sekolah yang kedua.
Pada tahun 1969, SMA Sedes Sapientiae yang semula mempergunakan kelas di lantai dasar mulai mempergunakan kelas di lantai 2. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan sarana pendidikan yang lain, maka diusahakan penambahan ruangan yang berfungsi sebagai laboratorium dan perpustakaan dengan ruang baca. Sekitar tahun 1970-an dibangunlah sebuah gedung asrama di depan deretan ruang kelas sebelah timur. Struktur bangunan tersebut kokoh sama halnya dengan bangunan di sekitarnya. Saat itu, SMA Sedes Sapientiae dipimpin oleh Sr. Louis (1968 – 1972) dan Sr. M. Marcella (1972 – 1979).
SMA Marsudirini Sedes Sapientiae periode 1980-an – 1990-an
Pada tahun 1981 yang saat itu SMA Sedes Sapientiae dipimpin oleh Sr. Stella Maris H. (1980 – 1992), dibangun Balai Pengobatan Panti Husodo dan PIKAT yang berada disamping SMA Sedes Sapientiae. Pada tanggal 20 April 1981, kepala kantor wilayah Departemen P&K menyetujui permohonan untuk menambah jumlah kelas SMA Sedes Sapientiae di Jalan Ronggowarsito 8, Semarang.
Pada tanggal 7 Juli 1982, nama SMA Loyola I selanjutnya disebut SMA Kolese Loyola, sedangkan SMA Loyola II disebut dengan SMA Sedes Sapientiae. Maka dari itu, alumni angkatan awal SMA Loyola II disebut sebagai KEKL (Keluarga Eks Kolese Loyola). Setelah nama Sedes Sapientiae mulai digunakan, maka pesta nama diperingati setiap tanggal 8 Juni. Arti dari Sedes Sapientiae adalah Tahta Kebijaksanaan.
Pada bulan Oktober 1985, diadakan pertama kalinya akreditasi untuk sekolah swasta oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. SMA Sedes Sapientiae diberikan status “Disamakan” dan nama SMA Sedes Sapientiae berubah menjadi SMU Sedes Sapientiae.
Mulai tahun ajaran 1990-1991, SMU Sedes Sapientiae menerima siswa putra, dengan hal itu diharapkan suasana kegiatan belajar mengajar menjadi lebih hidup serta syarat penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih terpenuhi. Seiring berjalannya waktu, tepatnya tahun pelajaran 1991-1992, seluruh KBM dilakukan di Jalan Mataram 908, Semarang dengan cara membangun tambahan gedung baru berlantai 3. Selanjutnya, dengan berlakunya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka nama SMU Sedes Sapientiae berubah lagi menjadi SMA Sedes Sapientiae. Pada masa ini SMA Sedes Sapientiae dipimpin secara berurutan oleh Sr. Rosaline (1992 – 1995), Sr. M. Lisbeth (1995 – 1996) dan Sr. Angelita Wijaya (1996 – 2000).
SMA Marsudirini Sedes Sapientiae periode 2000-an hingga kini
Pada tahun 2000-an SMA Sedes Sapientiae memasuki era modern dimana para siswa/siswinya mulai mengenal pelajaran komputer. Kepemimpinan SMA Sedes Sapientiae saat itu dijabat oleh Sr. M. Beatrix, OSF MM (2000 – 2002 dan 2009 – 2016). Semakin majunya
teknologi, semakin maju pula pendidikan di SMA Sedes Sapentiae. Hal ini mulai terlihat dengan ditinggalkannya papan tulis kayu (black board) menjadi white board hingga pemasangan jaringan internet guna mendukung proses pembelajaran di SMA Sedes Sapientiae. Perkembangan SMA Sedes Sapientiae saat itu dipimpin secara berurutan dari Sr. M. Theresie, S. Pd (2002 – 2003), Dra. Sr. M. Bernadetti (2003 – 2005), dan Sr. M. Vincentine, OSF, S.Pd, MM (2005 – 2008). Pada tahun 2011 saat Sr. M. Beatrix, OSF MM menjabat sebagai kepala sekolah periode yang kedua, SMA Sedes Sapientiae menyelesaikan renovasi pada bangunan awal dan aula Bangkong tanpa mengurangi nilai historis yang dimiliki.
Tidak hanya bangunan SMA Sedes Sapientiae saja yang mengalami perubahan, namun juga kegiatan yang ada dalam lingkup SMA Sedes pun ikut berubah. Seiring berjalannya waktu, SMA Sedes Sapientiae Semarang telah memiliki beberapa komunitas, antara lain SEMUT (Sedes Militan Suporter), KOMPAS (Komunitas Paskibraka), SEPALA (Sedes Pecinta Alam), VSCO (Video Sedes Community), SEUCCO (Sedes Eucharist Community), SMUTY (Sedes Music Community). Berbagai macam kegiatan yang sudah dilakukan baik di dalam maupun di luar sekolah, antara lain: Masa Orientasi Siswa (MOS) yang saat ini lebih dikenal dengan nama INSEKTA (Inisiasi Sedes Keluarga Kita). Pentas seni tahunan yang diadakan di SMA Sedes yang bernama SHC (Sedes Home Concert) dan diisi pentas seni dari berbagai ekstrakurikuler di SMA Sedes, Sedes Cup, Sedes Art, dan Alumni Cup yang dilaksanakan tiap dua tahun sekali. setelah Ibu Dra. Lenawati Winarto sebagai kepala sekolah awam pertama, saat ini kepala sekolah SMA Sedes adalah Drs, A Jarot Suryolegowo.
SMA Sedes Sapientiae memiliki 3 nilai utama yang dihayati oleh seluruh warga sekolah yaitu Sapientiae (kebijaksanaan), Conseguemento (berprestasi), dan juga Fratellanza (persaudaraan). Salah satu wujud nyata dari pengamalan nilai dasar yaitu SMA Sedes Sapientiae mengikuti Karnaval Paskah sekota Semarang pada tanggal 22 April 2017. Sedesian yang mengikuti karnaval membawa spanduk bertuliskan “Cino Jowo Podo Sedulur” yang artinya adalah “Cina Jawa Semua Saudara”. Melalui tulisan tersebut, ingin mencerminkan persaudaraan yang merupakan salah satu nilai dasar dari SMA Sedes, yaitu Fratellanza.
DAFTAR PUSTAKA
Jalan Menuju Tokyo. Keith Wheeler. 1986. PT Tira Pustaka, Time Inc.
Katalog SMA Sedes Sapientiae 1994 – 1995
Katalog SMU Sedes Sapientiae 1997 – 1998
Reuni Intan SMA Sedes Sapientiae 1951-2011
https://www.indischekamparchieven.nl/nl/zoeken?mivast=963&miadt=963&miahd=798134275&miaet=14&micode=kampen&miview=ika2
http://monicasmening.blogspot.co.id/2008/09/bangkong-het-jongenskamp.html?m=1
https://www.japanseburgerkampen.nl/Lampersari.htm
https://www.japanseburgerkampen.nl/Bangkong.htm
https://www.europeana.eu/portal/nl/record/2021622/detail_no_jsp_action_detail_imid_190373.html
www.wikipedia.com/perangpasifik